Responku..
Cerpen "Pelajaran Mengarang-Seno Gumira Ajidarma"
Minggu yang lalu, aku diberi kesempatan untuk dapat membacakan sebuah cerpen karangan Seno Gumira Ajidarma. Jujur saja, sebelumnya aku masih merasa asing dengan nama itu. Namun ketika di pagi hari sabtu itu aku membacakan salah satu cerpennya, aku mulai merasa tertarik dan ingin terus membaca kata per kata yang ada di sana. Suasana kelas yang hening membuat suaraku sajalah yang mendominasi.
Mulai dari paragraf 1 sampai 3 aku masih terbawa suasana cerita seolah-olah mengingatkanku pada masa SD dalam pelajaran mengarang juga. Hingga akhirnya aku mulai membaca di paragraf ke 4 yang membuat ku merinding entah karena apa. Aku mulai merasa menjadi bagian di dalam cerita itu dan akhirnya mulutku bergetar dan mata yang mulai berkaca-kaca.
Aku menangis karena aku berempati pada sosok Sandra, sosok yang lugu dan masih terlalu dini untuk memahami dunia kehidupan. Terlebih kehidupan ibunya. Tapi walaupun dia mulai mengerti, dia tetap mencoba memahami dan menyayangi ibunya. Kehidupan kota metropolitan seperti Jakarta pada waktu itu mungkin memang keras, terlalu keras untuk seorang anak kecil polos seperti Sandra. Bahkan di cerpen itu juga terlihat bahwa pada masa itu, bangsa kita masih dalam tahap perkembangan. Hal itu terlihat pada kata yang menyebutkan salah satu stasiun TV pada waktu itu yaitu RCTI. RCTI termasuk saluran TV yang muncul pertama kali di Indonesia selain TVRI.
Sungguh aku merasa sedih setelah membaca cerpen itu, empati lebih tepatnya. Begitu jelas tergambar kehidupan di kota kota besar pada waktu itu. Dan setidaknya sekarang aku bersyukur telah lahir di Jaman yang serba ada. Dan semoga tidak ada lagi Sandra berikutnya.
Minggu yang lalu, aku diberi kesempatan untuk dapat membacakan sebuah cerpen karangan Seno Gumira Ajidarma. Jujur saja, sebelumnya aku masih merasa asing dengan nama itu. Namun ketika di pagi hari sabtu itu aku membacakan salah satu cerpennya, aku mulai merasa tertarik dan ingin terus membaca kata per kata yang ada di sana. Suasana kelas yang hening membuat suaraku sajalah yang mendominasi.
Mulai dari paragraf 1 sampai 3 aku masih terbawa suasana cerita seolah-olah mengingatkanku pada masa SD dalam pelajaran mengarang juga. Hingga akhirnya aku mulai membaca di paragraf ke 4 yang membuat ku merinding entah karena apa. Aku mulai merasa menjadi bagian di dalam cerita itu dan akhirnya mulutku bergetar dan mata yang mulai berkaca-kaca.
Aku menangis karena aku berempati pada sosok Sandra, sosok yang lugu dan masih terlalu dini untuk memahami dunia kehidupan. Terlebih kehidupan ibunya. Tapi walaupun dia mulai mengerti, dia tetap mencoba memahami dan menyayangi ibunya. Kehidupan kota metropolitan seperti Jakarta pada waktu itu mungkin memang keras, terlalu keras untuk seorang anak kecil polos seperti Sandra. Bahkan di cerpen itu juga terlihat bahwa pada masa itu, bangsa kita masih dalam tahap perkembangan. Hal itu terlihat pada kata yang menyebutkan salah satu stasiun TV pada waktu itu yaitu RCTI. RCTI termasuk saluran TV yang muncul pertama kali di Indonesia selain TVRI.
Sungguh aku merasa sedih setelah membaca cerpen itu, empati lebih tepatnya. Begitu jelas tergambar kehidupan di kota kota besar pada waktu itu. Dan setidaknya sekarang aku bersyukur telah lahir di Jaman yang serba ada. Dan semoga tidak ada lagi Sandra berikutnya.
Komentar
Posting Komentar